25/2/2013
Aku tersentuh dengan kegelapan yang ku alami dan kegelisahaku
menjadi jembatan tinggi untuk bercengkrama dengan Sang Semesta.
Sepanjang perjalan menyusuri jembatan itu aku menapaki semua
sejarah kehidupanku mulai dari sejumput kenangan kecil sampai keujung kehidupan
di depan mata yang teringat jelas seperti sebuah gerbang megah yang membuka
rumah sang Semesta dan para makluk bersayap yang mempersilahkan Aku duduk
didepanNya tanpa bisa melihatnya duduk di depan ku .
Setelah beberapa menit diam, aku pun berlinangan air mata
mengenai perjalanan hidupku, Aku tertawa
terbahak-bahak mengenai kehidupan yang menyakitiku dan aku terdiam terhadap kehidupan nyang mendiamkanku. Semuanya aku lakukan sambil menunduk dan
mengantukkan kepalaku ke lantai tempat aku dan Semesta berpijak. Semakin aku benturkan semakin puas aku
mencurahkan isi kepala.
Aku berharap aku mendapat sedikit perhatian dan sedikit
bantuan sekedar meringankan hidup yang menurutku berat.
Untuk Sejenak aku diam memikirkan apa yang sudah kulakukan
dihadapan Sang Semesta. Apakah
tindakanku salah dan rendah dimataNya sehingga Beliau tidak
memperdulikanku. kemudian sang semesta menyentuhkan cahaya
kekudusanNya padaku sebelum pemikiran itu semua padam dari rongga otak. Cahaya yang cukup menyadarkan aku dari kemurungan
hidup, detik aku merasa tenang dan dalam..
kenyamanan tanpa paham akan arti itu.
Seperti orang yang sangat kehausan yang diberikan segelas air.
Aku sujud menyembah dan mencium bayangan cahaya suci itu dan
mengarahkan badan dan jiwaku keluar dari gerbang Sang semesta.
Aku berlari gembira menyusuri jembatan-jembatan hidupku
sampai kembali melihat jasadku yang duduk terpaku dibawah kebingungan
hidup. Aku melihat jasadku , ya aku
melihat jasadku aku melihat segumpal daging yang bertulang yang telah kugunakan
dalam kehidupan ini. Jasad ku tampak lebih tua dari umurnya, kulitnya menghitam
dan keras layaknya cadas kering, sorot matanya garang mengikuti kehidupan yang
dilaluinya. Badannya selalu hangat untuk
memeluk orang-orang yang dicintainya. Pundaknya besar untuk memikul beban
orang-orang yang dicintainya. Luka
dihatinya terus berdarah sejalan pikulan beban yang semakin bertali waktu. Perut yang besar sebab menelan semua rasa
pahit cobaan hidup dengan lahabnya.
Kupeluk jasadku dengan lembut, kemudian kembali kedalamnya,
menghentikan lamunan panjang tak berujung Disudut keheningan cadas gunung ini.